MAHASISWA, KAMPUS DAN CITA-CITA IDEAL
PENULIS: Allang ( mahasiswa UMI )
Memahami dunia tidak semudah memahami perut lapar keroncongan. memahami dunia tentu memahami banyak hal dari cosmic hinggga microcosmic dari segala yang ada. memahami kelaparan dan bagaimana mengatasinya mudah saja, beri ia asupan makan. tetapi bagaimana makanan dapat tersaji, bisakah dengan tidak bekerja? atau bagaimana dengan yang tak punya pekerjaan? beri mereka lapangan kerja! lalu bagaimana yang tak dapat bekerja sebab keterbatasan fisik jga mentalnya? berbagi tentu menjadi solusinya. Apakah sedemikian mudahnya mengatasi kemiskinan di Negeri ini? Ya, kenapa tidak. Mungkin demikianlah perspektif kita dari seorang mahasiswa. Seperti kalimat dari Pram "hidup itu sungguh sangat sederhana yang hebat-hebat hanya tafsirannya"
Mahasiswa adalah kelompok yang sangat berbeda, ia unik dan mengasankan. tempatnya malah berada dikota-kota besar, tetapi mereka lebih memahami desa daripada kota. Ditembaki malah semakin menjadi akan tetapi sangat takut sekali degan SK Rektor. namun seandainya mereka dibunuh atau dihilangkan oleh negara, tunggu saja pembalasan dan dendamnya bisajadi semngat yang akan terus menyala hingga 1000 tahun lamanya. padahal mereka tak dididik bagaikan seorang prajurit tempur yang diberi senjata dan peluru sambil disertifikasi oleh negara akan nyawa dan darahnya bahkan jaminan kesejahteraan family-nya sendainya mereka gugur dalam pertempuran. mahasiswa dididik dengan cara yang sangat manusiawi, sehingga tidak saja menghadirkan manusia tetapi mereka malah dipaksa menjadikan yang lain sebagai manusia. yang mendidiknya tentu sesamanya mahasiswa akan tetapi yang hadir bukanlah guru dan murid tetapi senior dan junior sebagaimana cita-cita pendidikan paulo freire bahwa antara guru dan murid mesti dalam kesamaan frame bukan membatasi diri masing-masing tentunya dengan menggunakan semangat guru bangsa Ki Hajar Dewantara dalam penyampaiannya.
Mahasiswa Mengapa ia aneh? banyak soal, seperti diawal bahwa mereka sangat tahu bagaimana menagatasi kemiskinan tetapi malah mereka sendiri yang sering kelaparan dan tak punya duit. uang sebulan bisa habis dalam waktu sehari saja, padahal mereka tahu benar bagaimana manajemen keuangan berbasis syariah bahasa lain dari tindakan lebelisasi halal pada produk babi. foya-foyakah? ia, bisa jadi. sebab mereka melandaskan keungannya pada azas persaudaraan bahwa "investasi terbesar adalah teman".
Dalam kesehariannya kampus dianggap sebagai pusat peradaban. mereka semua mengahabiskan waktunya dibawah gazebo-gazebo, diruang-ruang sekretariat sambil kongkow bareng dengan sesamanya, membicarakan segala hal -sebagaimana mungkin Socrates sang pemikir dimasa lalu bekerja- paling sering adalah soal sosial-kemasyarakatan (bukan soal sosial media) ekonomi (bukan proyek) hingga pemerintahan (bukan politik praktis). Mereka tak meninggalkan meja diskusinya sebelum demonstrasi sebagai solusi. begitulah seterusnya.
jika sendainya tak ada isu-isu yang sedang naik daun, mereka tetap melakukan hal demikian, akan tetapi tensi diskusi agak menurun dan langkah elit-elitnya lebih kebanyakan bersama dengan anggota-anggotanya sesambil menggurutu dengan sedikit mencemooh pemimpin-pemimpin bangsa.
Sebagai seorang mahasiswa adalah yang paling memberatkan adalah menyandang diri seorang MaBa, sebab mereka akan dihantui dengan jiwa ketakutan, merasa diri tertindas dan seakan-akan mereka hidup didunia lain yang sangat jauh dari hasil perenungannya sebelum memasuki dunia kampus. akan tetapi dari segala rankaian proses, inilah titik yang paling menentukan! apakah ia akan jadi mahasiswa atau tidak sama sekali dan selama-lamanya!
membaca, diskusi, demonstrasi, menumbangkan rezim orde lama, orde baru hingga menghadirkan reformasi adalah romantisme masa lalu, sedikit menyinggung sebelumnya bahwa hampir seluruhnya adalah fiktif belaka, jauh panggang dari api. disukusi tak lagi menyoal orang banyak, bahwa diskusi telah bergeser dari yunani menuju korea. dari pramodya ananta toer menuju boy candra, dari Soe Hok Gie menuju Song Joong Ki. dan masih banyak lagi. Lalu dimasa depan kita ini mau bagaimana?
Pengurus-pengurus organisasi lebih senang masuk cafe dariapada penjara, antara laki-laki dan perempuan entah dalam posisi apakah senior atau junior, moril tidak lagi menjadi batasan.
Lebih dari itu semua, harapan/cita-cita Insya Allah masih ada, entah apakah hanya dalam nyanyian lagu-lagu mahasiswa agar dianggap aktivis ataukah hanya sekedar bayang-bayang.
Komentar
Posting Komentar